Laki-laki itu duduk diam di meja yang terletak di
sudut ruangan sebuah kedai kopi. Kedai sederhana namun nyaman dan menenangkan. Ada jendela kaca pada
sisi kirinya. Sore ini jendela itu tampak menangis dengan titik-titik sisa air
hujan pada kacanya. Laki-laki itu berharap ada sedikit saja sisa sinar sang
surya, berharap pelangi hadir mewarnai langit. Langit yang sedari tadi dia
pandangi hanya berwarna abu-abu. Ada
rak-rak buku berjajar di seberang mejanya. Buku-buku lama dan terbitan terbaru
- yang disusun berdasarkan jenis buku, tampak berbaris rapi, menanti untuk
dipilih oleh pengunjung kedai yang ingin menikmati kopi sambil mengisi jiwa
dengan membaca.
Laki-laki itu ingat pada perempuan yang mengisi
hatinya. Perempuan itu suka sekali minum kopi disini. Bukan hanya karena
kopinya yang nikmat dan suasana kedai yang menenangkan dengan alunan musik
lembut memenuhi ruangan, tapi juga karena hadirnya buku-buku disana. Suatu saat aku ingin bukuku ada di rak itu,
lalu kamu membacanya ketika aku tak lagi ada, begitu katanya suatu ketika.
Laki-laki itu memang pernah meminta perempuan itu untuk menuliskan kisah
mereka. Dan perempuan itu hanya tertawa lirih kala itu, merasa tak akan mampu
bercerita tentang cinta yang tak ada ujungnya.
Sudah satu gelas coklat panas dipesannya. Dia
pesankan juga satu cangkir kopi untuk perempuan yang telah berjanji akan
menemaninya menanti turunnya senja hari ini. Walau senja kali ini mungkin tak
akan jingga warnanya-karena langit telah berair mata sedemikian banyaknya, dan
menyisakan tetes-tetes air pada kaca jendela disisinya.
Laki-laki itu selalu menatap pintu kedai bila
terdengar bunyi gemerincing lonceng-lonceng kecil yang dipasang di pintu dan akan
berbunyi bila pintu terbuka. Tak juga muncul perempuan yang ditunggunya. Setiap
pintu terbuka, setiap lonceng-lonceng kecil saling beradu, maka degup
jantungnya pun ikut nyaring bersuara, berharap belahan jiwanya akan menampakkan
dirinya.
Dan waktu pun bergulir dalam diam. Sudah hampir habis
coklat panasnya, sudah dingin kopi yang dipesannya. Sudah beberapa buku dia
ambil dari rak dan dibaca sekedarnya, hanya untuk teman sementara dalam
kesendiriannya.
Kegelisahaan perlahan merambati hatinya, pelan-pelan
memaksanya berprasangka. Mungkinkah perempuan yang dinantinya tak akan tiba hingga
senja datang menyapa. Pelayan kedai telah bertanya padanya, apakah dia akan
menambah minuman lain atau sekedar penganan kecil. Tampaknya kegiatannya
menatap jendela, membolak balik halaman buku-buku dan mengamati pintu cukup
menarik perhatian sang pelayan. Hingga tergerak untuk menawarkan ‘kegiatan’
lain, membaca buku menu dan memesan sesuatu.
Senja akhirnya tiba juga, senja yang tak jingga
warnanya.
Laki-laki itu tampak kecewa tak bisa menikmati senja
bersama perempuan yang telah berjanji akan menemaninya. Dari kaca jendela
disisinya, terlihat lampu-lampu jalanan yang mulai bercahaya, tercipta suasana
yang temaram.
Dimanakah
kamu? Lupakah kamu pada janjimu, ataukah kamu memang sengaja membiarkan aku
menunggu untuk menguji kesungguhanku? Semoga saja kamu sedang sibuk menulis
buku. Buku tentang cinta yang tak ada ujungnya-demikian menurutmu, yang akan
ikut dalam barisan buku di rak berwarna coklat tua yang ada di kedai kopi kesukaanmu.
Kamu seharusnya tahu, bahwa menunggumu adalah
sesuatu yang tak perlu kamu minta dariku.
Senja sudah selewat lalu. Laki-laki itu beranjak
pergi, membayar coklat panas yang telah tandas dan secangkir kopi yang tak lagi
panas. Mengembalikan buku-buku yang hanya dibacanya sambil lalu. Sejenak
ditatapnya meja tempat duduknya, seakan mengucapkan salam pada kekosongan.
Gemerincing lonceng pintu, laki-laki itu pun pergi
meninggalkan kedai kopi.