Cahaya senja memantul indah pada permukaannya. Permukaan air laut yang tenang, diselingi
ombak yang menyisakan deburan di akhir perjalanannya.
Angin terasa meniupkan hawa yang syahdu. Alam bersiap melakukan
ritual melepas sang matahari menuju tempat peristirahatan. Padahal sesungguhnya
bukan melepas sumber cahaya utama untuk menepi di sisi barat, tapi bumi yang
berputar, mengisahkan perbedaan waktu, menjadi gelap atas kemauannya sendiri, karena sang
sumber cahaya tak akan kemana-mana, dia disana dengan sinar sempurna untuk
semesta. Tanpa kata-kata, tanpa rayuan indah
agar dipercaya, sang surya selalu menepati janjinya, tak akan pernah meredupkan
cahaya, kecuali Sang Pencipta menghendakinya.
Perempuan itu ada disana, berdiri di tepi pantai,
menghadap laut. Menikmati nyanyian angin, menghirup udara beraroma air laut,
buih ombak, dan merasakan butiran-butiran pasir menyelinap di antara jemari
kaki telanjangnya.
Seperti laut
yang hanya bisa menatap langit, berharap ada cara agar bisa saling bersentuhan,
tapi semua rasa hanya terurai lewat tatapan. Begitulah aku kini, merasakan jarak
bak laut dan langit denganmu. Kamu bagai langit itu, begitu luasnya dirimu,
tapi tak bisa aku menyentuhmu, begitu anggun sekaligus angkuh.
Seperti matahari yang mempengaruhi warna laut dengan
pancaran cahayanya. Begitulah aku kini. Kamu bagai matahari yang terang
benderang dan aku bagai lautan yang dalam. Gelombang warna dari pancaran
cahayamu mempengaruhiku, aku serap, aku bagikan lagi warnanya. Kamu menambah
semua yang ada dalam diriku hingga bereaksi
dan menghasilkan warna baru. Aku lautan yang tampaknya biru, dan kamu matahari yang
membagikan cahaya.
Perempuan itu lelah berdiri dan menatapi matahari
yang tampak mundur perlahan meninggalkannya dalam tatap mata.
Duduk ia kini di atas pasir, setelah sedikit berjalan
menjauh beberapa langkah dari tepi pantai. Duduk memeluk kakinya yang ditekuk
sebatas dada, hampir bertemu dagu dan lututnya. Wajahnya masih menghadap laut
yang disirami sisa cahaya surya, rambut yang dibiarkannya tergerai menari-nari
bersama nyanyian angin.
Ingin aku
memelukmu, bukan memeluk kakiku. Tapi bagaimana caranya, bila ragaku disini dan
ragamu aku tak tahu dimana. Rinduku begitu biru seperti lautan yang dalam,
rinduku begitu syahdu bagai nyanyian alam ketika senja datang, rinduku padamu
terasa menyesakkan dada, hingga air mata mewakili segala rasanya.
Perempuan itu merapatkan kaki pada badannya, udara
dingin mulai terasa, baju hangat panjang dan syal dilehernya tak cukup bisa
menahan terpaan udara. Sementara sebagian celana panjangnya sudah basah terkena
air laut ketika ia tadi berdiri di tepi pantai.
Dingin.
Seperti rasaku. Aku yang mencintai laki-laki yang mencintaiku, aku yang merindukan
laki-laki yang merindukanku, aku yang menginginkan laki-laki yang menginginkan
aku, aku yang tak bisa apa-apa dengan ini semua. Aku yang akhirnya menjadi
dingin. Bukan cinta yang tiada, karena cinta itu tak kuijinkan beranjak walau
sejenak. Bukan rindu yang kehilangan tempat, karena rindu itu aku berikan ruang
luas tanpa batas. Bukan harapan yang terhenti, karena perjalanannya seluas
jagat raya. Dingin, itu saja.
Senja telah bertambah usia, kini gelap menyelimuti angkasa. Perempuan itu berdiri. Sekali lagi menatap laut lepas,
telinganya mendengarkan
lagi suara ombak terhempas. Ia pejamkan mata, nafas tertata, dan sapaan angin
menerpa wajahnya, dingin memeluk tubuhnya. Lalu ia buka matanya, senyum
mengembang diwajahnya, “aku merindukanmu dalam setiap hela nafasku, dan aku
mencintaimu hingga helaan nafasku terhenti suatu saat nanti” bisiknya pada
udara, semoga getarnya sampai pada suatu tempat, pada sebuah hati yang dimiliki
seorang laki-laki yang berkenan menyimpan hatinya. Itu saja harapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar/ulasan :