Jumat, 24 Juni 2011

Cinta Senja (1)

Di sebuah bukit, senja turun perlahan.
Laki-laki itu masih memandangi batas cakrawala yang mulai memerah.  Angin mengusap wajahnya yang tampak lelah, tapi sarat asa pada tatap matanya. Sambil duduk bersila di atas rerumputan hijau yang mulai terasa dingin oleh udara, dia memperhatikan perempuan yang duduk disampingnya.
“Kamu tahu, aku sudah lama membayangkan ini, duduk diatas bukit, menikmati senja bersamamu”, laki-laki itu berkata.
Perempuan itu tersenyum, sambil merapikan rambut panjangnya yang beterbangan dimainkan angin.
“Aku suka senja, warna dan suasana senja, indah”.
“Mengapa kamu pergi dariku ?”, tanya laki-laki itu.
Perempuan itu menoleh, mereka berpandangan. Perempuan itu tersenyum, “Aku tidak pernah meninggalkanmu, aku akan selalu ada”.
“Kamu begitu sulit kuhadapi”.
“Aku dan kamu, kita menjadi ada, itu yang sulit dihadapi”, perempuan itu menatap lurus ke depan, seolah berkata pada batas senja.
Lalu mereka terdiam, saatnya bagi keheningan untuk hadir.           

Laki-laki.
Aku tidak pernah menyangka bahwa waktu akan mempertemukanku dengan seseorang dari masa lalu. Sebuah masa yang sudah terlalu lama untuk dikenang, bahkan sebenarnya sudah terlupakan, tapi tetap tercatat.
Bahkan dalam doa-doa penuh rahasia pun, tak pernah aku menyebutkan namanya. Tapi Tuhan selalu tahu isi hati manusia. Dengan segala kuasa-Nya apa saja bisa saja tercipta, segala situasi bisa saja terjadi.
Pertama kali yang aku sadari ketika bertemu dengannya adalah : betapa aku masih mencintainya. Awalnya aku mengira ini semua akan biasa saja, seperti nostalgia, roman picisan. Tapi ternyata bukan. Aku sendiri tak tahu bagaimana menggambarkan rasa hatiku, yang aku tahu, aku mencintainya, itu saja.

Perempuan.
Sungguhkah itu dia? Sudah berpuluh tahun tak bersua, benarkah dia masih ingat padaku? Bahkan kisah indah pun tak pernah terjalin, walau aku begitu memujanya, dulu. Aku begitu meragu, tak mungkin dia ingat padaku. Tapi dia membuktikannya dengan menceritakan detil penampakanku di masa lalu.
Ya Tuhan, dia memperhatikan aku pada suatu masa. Lalu mengapa tak tertulis di buku takdirku, di buku takdirnya, bahwa kami saling bertemu dan bersatu? ingin sekali memprotes skenario Sang Sutradara alam raya.
Setelah sekian lama putaran waktu membawaku merajut cerita-cerita hidupku, dia hadir disana, menyapa dan menyanyikan lagu cinta. Andai aku bisa, ingin aku berteriak pada dunia : aku selalu jatuh cinta padanya. Tapi aku simpan teriakanku. Aku memilih berbisik pada angin.
Menangis aku sudah, diam aku lelah, tapi menikmati sebuah cinta yang hadir tidak pada waktunya, terasa salah. Jadi harus bagaimana lagi aku kini?

Di sebuah tempat makan dan minum, pada suatu senja.
Perempuan itu memainkan cangkir kopinya, dan memperhatikan uap panas yang mengepul, mengudara. Seandainya saja muncul Aladin disana, tokoh jin yang bisa mengabulkan permintaan tuannya, ingin sekali dia mengucapkan permohonan. Wahai tuan putri, apa gerangan yang engkau inginkan, hamba akan mengabulkan keinginan tuan. Lalu aku akan menjawab : beri aku mesin waktu, agar aku bisa menulis kembali ceritaku, mengubah takdirku, dan menemui cinta yang sesungguhnya.
“Hai, kamu melamun lagi”, suara itu membuyarkan kisah tuan putri dan jin baik hati.
Perempuan itu hanya tersenyum. Lalu memandangi laki-laki itu.
“Kamu juga lebih banyak diam saat bersamaku.”
“Aku sedang menikmati waktu ini, saat ini. Bukan berarti aku tak nyaman bersamamu.”
Laki-laki itu menghirup coklat panasnya perlahan, menghangatkan tenggorokan dan mungkin juga menenangkan degup jantungnya, yang selalu iramanya tak menentu ketika bersama perempuan yang hadir dalam khayalnya, mimpinya.
“Jadi seperti apa kita?” perempuan itu memecah kesunyian, setelah sekian waktu hanya terdengar denting sendok dan garpu dari meja di dekat mereka, diiringi suara musik yang mengalun lembut.
“Mengapa kamu senang sekali dengan topik itu? Tidak bisakah kita menikmati saja saat ini?”
“Apa kamu tidak merasa ada yang perlu diluruskan dengan cerita kita?”
“Apalagi yang kamu ragukan? Aku tahu, kamu hanya tidak yakin dengan kenyataan bahwa aku mencintaimu,” laki-laki itu berkata sambil mencoba menyelami isi hati si perempuan dengan menatap matanya. Mata yang dulu pernah begitu membuat dada seorang lelaki kecil berdentum kencang.
“Iya, kamu begitu tidak mungkin untukku,” perempuan itu menatap si laki-laki, terlihat bening, berair tipis.
“Harus bagaimana lagi aku?”
Perempuan itu diam. Aku mau kamu bisa selalu ada disisiku, aku mau kamu bisa aku peluk jika aku rindu padamu, aku mau kamu ada ketika aku butuh teman bicara, aku mau kamu tahu semua isi kepalaku, agar kamu tak perlu bertanya “harus bagaimana aku?”
“Hai, jawab pertanyaanku, kamu mau aku bagaimana?, suara laki-laki itu menghapus kata-kata yang bicara dalam diamnya si perempuan.
“Aku mau kamu selalu mencintaiku”, hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dan dari semua yang diinginkannya, memang hanya itu saja yang rasanya bisa dilakukan. Mencintai, titik.

Kamis, 16 Juni 2011

terbentur jujur


Jujur itu berkata yang sebenarnya, tak perlu ditutupi apalagi dibumbui.
Tak usah mencari kata-kata yang indah dan penuh kiasan, cukup ungkapkan saja sebuah kebenaran. Mudah bukan ? Sayangnya keinginan untuk jujur, selalu diiringi kekhawatiran. Khawatir menyakitkan, khawatir mendapat tanggapan yang tak sesuai keinginan. Dan jujur juga diikuti kerelaan. Relakah dengan kata-kata yang sederhana, kita akhirnya mendapat cacian ? relakah dengan kalimat-kalimat yang telah tersusun penuh pertimbangan, kita hanya menuai hasil yang mengecewakan ?

Belajar jujur pada diri sendiri saja sulit.
Sebenarnya hal yang menyiksa justru itu, ketika kamu ditipu dirimu sendiri.
Merasa kuat, lalu pura-pura semua baik adanya, kemudian tertawa-tawa, padahal hatimu menangis pilu, namun tak ingin ada yang tahu.
Merasa mampu dan tak perlu dibantu, padahal dirimu tertatih tatih, berharap ada yang mau tahu.

Mengapa jujur saja diperhitungkan ? Kalau nanti bilang begini, disangka begitu. Kalau cerita begitu, disangka begini. Kalau sudah begitu, nanti bagaimana sikapnya ? Kalau sudah begini, apakah masih bisa kita diterima ?
Apalagi kalau menyangkut kesalahan, jelas jujur memang harus diperhitungkan dengan segala resikonya. Kejujuran juga biasanya akan mengubah jalan cerita hidup seseorang. 
 
Maka mari kita menyanyi lagu band Raja..."jujurlah padaku....."  :D

Senin, 13 Juni 2011

salahkah ?

Habis rasanya segala dayaku
Ketika lewat kata pun tak lagi aku mampu ungkapkan isi kepalaku
Ketika ribuan tetes air mata tak lagi sanggup menumpahkan isi hatiku

Bicara pada manusia rasanya sia-sia
karena mereka hanya punya dua telinga, yang mungkin mendengar tapi tak paham
mereka hanya punya satu mulut, yang mungkin bicara, tapi giliran aku yang tak paham

Dan doa tak terhingga banyaknya telah membumbung tinggi ke angkasa


Tuhan, Kau beri aku hidup dan dimampukan menghadapi ujian, tapi bolehkah aku sekedar bersandar dalam peluk-Mu dan menitikkan sedikit sisa air mata,...aku sudah lelah, salahkah ?


(juni awal 2011)

Minggu, 12 Juni 2011

supir taksi dan penumpangnya


Pada sebuah sore yang cerah, matahari mulai meredup dan memerah, seorang perempuan muda memberhentikan sebuah taksi yang tengah melaju perlahan.
Taksi pun berhenti, perempuan itu masuk, menyebutkan tempat tujuannya sambil duduk nyaman di kursi belakang.
Taksi melaju dalam kecepatan sedang, membelah jalanan yang mulai dipadati kendaraan.

Perempuan itu asyik memandang jalanan, sambil sekali-kali ber-SMS melalui ponsel di tangannya, lalu menerima telepon, bercakap-cakap sebentar, lalu kembali pada ritualnya setiap kali dalam sebuah perjalanan, yaitu menikmati permandangan, padahal pikirannya entah melayang kemana.

Supir taksi mengendarai mobilnya dengan tenang. Sekali dia mencuri pandang melalui kaca spion, melihat penumpangnya. Wah, si mbak sepertinya asyik melamun sendiri, setelin radio boleh juga nih, siapa tahu menghibur, begitu pikir supir. Lalu dia menyalakan radio, dan terdengarlah sebuah lagu yang penyanyinya begitu dipuja gadis-gadis remaja.

Perempuan itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak terasa perjalanannya hampir usai. Taksi yang ditumpanginya telah memasuki daerah tempat tinggalnya. Kemudian dia memberikan instruksi pada supir taksi yang dilihatnya sudah menguap sedari tadi, “Pak, nanti di depan, sebelum warung makan itu, belok kanan ya”, begitu kata perempuan itu, kemudian kembali memandang keluar jendela. Supir taksi agak ragu bertanya kembali, “Ke kanan mbak ?”, perempuan itu tanpa memalingkan muka dari jendela menyahut ringan, “Iya”.
Supir taksi mulai terlihat bingung, wah salah bawa penumpang nih, begitu ujarnya dalam hati. Dan akhirnya supir taksi memutuskan untuk melaju lurus saja, tidak belok ke kanan sesuai permintaan penumpang.
Beberapa saat kemudian, “Lho Pak, Pak…udah kelewat belokannya !”, teriak perempuan itu, dan supir taksi menjawab tenang, “Kalau belok kesitu ya berarti belok ke kiri, mbak tadi suruh saya belok kanan, ya terjun ke sungai, jadi saya lurus saja”. Perempuan itu tertawa, malu sepertinya, “Oooh, maaf Pak, maksud saya, belok kiri.” Lalu kendaraan itu pun mengoreksi arah perjalanannya menuju “jalan yang benar”.

Dalam hati ;
Supir taksi : Makanya mbak, kalau naik taksi jangan ngelamun, atau asyik sama hp, jadi lupa mana kanan, mana kiri. Gila aja, masa gue disuruh nyebur ke sungai, please deh agh, sono aje elo sendiri.

 Perempuan muda : Waduh, kejadian lagi. Selalu lupa mana kanan, mana kiri kalau dijalan. Malu deh. Lagian tuh supir juga bukannya tanya lagi, eh apa udah tanya lagi ya tadi? Agh, biar deh, yang penting gak jadi nyebur sungainya, mana gak bawa baju ganti pula, bisa berabe tar kalau basah.

(29 juli 2010)

perjalanan kecil


Matahari pagi, sudah meninggi, beranjakku pergi. Hari ini ada janji, akan melewati hari dengan cerita yang belum pernah aku lalui.

Tibaku di stasiun kereta api, masih agak sepi. Kulihat deretan kios berwarna biru, yang tampaknya tidak semua buka di hari minggu. Seru, itu pikirku, duduk bersama orang-orang yang tak pernah aku tahu, menunggu kendaraan panjang yang menderu dimana manusia akan berjejalan disitu.

Mataku asyik berkeliaran, memandangi orang berlalu lalang, ada yang berbincang-bincang, pedagang nenjajakan barang-barang, ada juga yang hanya diam, seperti aku. Diam, menikmati pemandangan, ditemani lagu-lagu dari sebuah band yang namanya adalah warna kesukaanku. Lalu tersenyum aku, diantara manusia-manusia yang tidak aku kenal dan tidak mengenalku, aku sibuk menjiwai lirik lagu-lagu yang tak pernah aku tahu (karena bukan band favoritku). Lucunya sebuah suasana, bisa membuat orang mengisi pikiran dengan apa saja, tidak perlu penting, tapi bukan pula hal yang rutin.

Terdengar bunyi kereta menderu, tapi bukan untukku, masih beberapa saat lagi tumpanganku akan tiba, begitu kata petugas melalui pengeras suara. Lalu kendaraan yang sering terlambat datang itu melaju kencang di depanku, angin menyapu wajahku. Dan diantara orang yang berdesakan, diantara tangan-tangan yang bergelantungan menahan berat badan yang terguncang-guncang, aku menikmati bunyi itu, bunyi kereta api. Rasanya sampai berdentum di dadaku, aku suka itu, semoga ini bukan hal yang lucu.

Keretaku tiba. Teman perjalananku sudah ada disana, memberi kabar, bahwa dia ada di gerbong paling belakang, duduk nyaman, menantiku datang. Aku pun naik dengan tergesa. Bila tadi aku menikmati pemandangan orang berebutan hanya sekedar untuk melangkahkan kaki ke dalam kereta, mungkin saat ini akulah yang dinikmati sebagai pemandangan bagi orang-orang. Hidup itu memang bergantian cerita.

Penuh. Sesak. Bisa berdiri tanpa desakan kanan kiri sudah cukup disyukuri. Kembali kubiarkan mataku berkeliaran. Melihat orang-orang duduk, berbincang, tidur, diam, berdiri, terguncang-guncang, sibuk dengan barang bawaan, dan aku sibuk menikmati perjalanan pertamaku, yang akhirnya aku nikmati sendiri, karena tak sempat aku mencari temanku di gerbong paling belakang. Tak apalah, aku cukup senang bisa sendirian di tengah keramaian.

Beberapa stasiun terlewati sudah, temanku (yang duduk manis di gerbong belakang itu) memberi tahu, di stasiun selanjutnya setelah yang dilewati ini, kami turun. Entah karena bingung atau agak tidak konsentrasi berhubung melewatkan sarapan pagi, entah karena keasyikan menikmati pemandangan dalam kereta api, aku melewatkan pemberhentian itu (padahal aku sudah bertanya pada bapak dan ibu yang berdiri di sebelahku). Paniklah temanku (aku tertawa saja, karena yang aku bayangkan terjadi juga).

Kemudian aku turun di stasiun berikutnya, temanku sibuk menghubungiku, takut aku hilang sepertinya. Padahal aku senang, bisa melakukan perjalanan yang sedikit berbeda. Tapi akhirnya kita bertemu juga, dan bisa menghabiskan waktu bersama.

Tak ada yang istimewa, biasa saja ceritanya. Tapi entah mengapa, aku begitu bahagia, bisa menikmati hari, melihat sinar matahari pagi di stasiun kereta api. Melakukan perjalanan kecil yang belum pernah aku coba, salah turun pula.Yang aku tahu, aku masih harus belajar, mengenali perjalananku, sesingkat apapun itu.

(14 maret 2010)

kata-kata pena


diambilnya aku, dipeluk aku oleh jari-jari lentik itu
diketuk-ketukkan aku pada sebuah meja kayu
diputar-putar tubuhku diantara jari-jarinya, sambil kulihat matanya memandang entah kemana

setelah sekian lama dalam diamnya, akhirnya aku digerakkan diatas sebuah lembar kertas putih
dikeluarkan isi tubuhku untuk menyampaikan isi pikirannya
aku membentuk huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat, berbaris-baris rapi
rasanya aku ingin tahu, sedang membuat apa dia dengan kotoran hitamku
adakah barisan rapi ini sebuah surat, sepenggal cerita, sebait puisi, atau hanya coretan isi hati ?

aku lihat dia tersenyum, kadang mengusap setitik air mata dengan segera agar tak menetes dan membasahi kertasnya, kadang dia terdiam menatap yang tiada
lalu tangannya sibuk kembali menggerakkan aku kesana kemari, semakin banyak barisan kalimat yang aku buat, dan aku selalu menunggu sebuah titik, untuk aku beristirahat

jari-jari yang memelukku rasanya tak lagi erat
mungkin sudah lelah dan butuh diam sejenak
aku lihat dia terdiam, memandang rangkaian aksara, membaca…
kemudian diletakkan aku diatas lembar kertas yang tak lagi putih, kertas yang telah terisi semua yang ingin disampaikannya (aku rasa)
lalu dia tinggalkan aku dan kertas itu

dia telah mengosongkan sebagian dari diriku,
semoga aku juga telah mengosongkan sebagian beban pikirannya
dan dia juga telah mewarnai kertas putih itu dengan isi tubuhku,
maka semoga saja dia juga telah mewarnai hidupnya, dengan cerita…

(13 juni 2010)

cerita airmata


menggenang lagi aku, di sepasang mata bulat, bening
semakin banyak aku, memenuhi tempat yang rasanya tak kuasa lagi menahan bebanku
bersama sepasang mata yang indah itu, aku diajak melihat langit
diajak aku menikmati awan, merasakan desau angin perlahan

sepasang mata itu, memintaku turun, karena pandangannya sudah kabur
tapi tak bisa aku turun, sang empunya mata, belum menginginkanku jatuh
genanganku masih tertahan, walaupun sedikit dari diriku mulai keluar dari sudut mata bulatnya

andai bisa bicara, ingin sekali aku bertanya, mengapa otak memerintahkan kelenjarku bekerja lebih dari biasanya, mengapa kali ini selalu ada aku di tempat yang disebut orang jendela hati ini
atau aku mungkin harus bertanya pada hati, mengapa membuat otak meminta aku membasahi mata jernih itu


tapi tak ada waktu untuk bertanya ini itu
genanganku sudah terlalu penuh, dan tanpa perintah, aku terjatuh….
aku mengaliri halus wajahnya, aku lewati pipi yang akan memerah bila tertawa
aku lalui sudut bibirnya, dagunya…
aku ditakdirkan untuk tidak bisa bicara, tapi semoga aku bekerja untuk sebuah ungkapan bahagia, yang tak muat lagi dalam kata-kata
tapi jika aku ada untuk melengkapi uraian gundah gulana, maka tak apa juga
semoga akhirnya melegakan, menenangkan…

(26 mei 2010)

melayang menuju yang terdalam


Di sebuah hamparan danau nan biru kehijauan, disana aku berdiri, berpijak pada segundukan tanah berumput liar, berpohon beberapa, tampak teduh dari kejauhan, mungkin gundukan tanah itu bisa disebut pulau, kecil saja.

Aku berjalan, memandang jauh ke depan, menghampiri satu dari beberapa pohon itu, tak rindang, tapi lumayan menyejukkan, tak ada siapa-siapa, aku sendiri. Lalu aku tatapi air danau yang biru hijau itu, tenang, dalamkah? tanyaku
dalam hati.

Lalu diseberang sana, dalam jarak yang tak jauh rasanya, aku lihat lagi gundukan tanah berwarna kecoklatan, rasanya lebih kecil dari pulau yg kupijak. Tunggu ! aku lihat ada manusia disana, berdua mereka, tampak bercakap-cakap. Terlihatkah diriku yang sendiri disini, merasa terasing dan tersesat di entah bumi
bagian mana dari dunia yang aku tahu selama ini.

Aku lambai-lambaikan tanganku, aku keluarkan suaraku yang aku sebut itu teriakan, meloncat-loncat aku setinggi yang aku mampu, berusaha membuat gerakan, agar dua manusia itu melihat ke arahku. Tapi mereka bergeming.

Lelah aku atas tingkahku,
Tapi belum hilang dayaku, dan aku pun berlari sekencang aku bisa menggerakkan kaki-kaki kecilku, sambil terus mengeluarkan suara yang masih menyerupai teriakan, hingga perih tenggorokanku, dan keluar air mataku, entah sedih atau merasa tak lagi mampu berusaha lebih dari itu.
Lariku tak bisa terhenti, terus berlari, berlari dan berlari, berharap bisa meloncat ke gundukan tanah yang dipijaki dua manusia itu, tapi....aku lalu merasakan melayang, tak tinggi, tapi tak kuinjak tanah lagi..
Kakiku menyentuh air yang biru kehijauan, tak bisa lagi aku berlari, terjatuh aku di danau indah yang tadi aku tatapi, kakiku menggapai-gapai, tak bisa berpijak pada apapun, aku berusaha terus bergerak, menuju pulau lain, yang bermanusia itu.
Badanku terasa semakin berat, seperti terhisap ke dalam danau yang aku tak tahu sedalam apa, tanganku melambai-lambai ke udara, air biru hijau telah mulai aku telan dengan terpaksa, tapi mulutku tak kuasa teriakan kata. Tunggu ! jangan menyerah, begitu pinta hatiku pada otakku, tinggal sedikit lagi menuju pulau dengan dua manusia itu.

Semakin keras kakiku bergerak rasanya, tapi makin lemah sang daya berupaya, kini yang tersisa di udara hanya kepalaku, dengan mata yang tak berkedip memandang mereka, yang tetap asyik bercakap berdua, tak melihat aku walau sekedar menolehkan kepala saja.

Kemudian aku merasakan tubuhku melayang, ringan, masuk menyesak ke dalam danau indah nan biru kehijauan, terhisap aku oleh keindahan, tak terpikirkan lagi dua manusia yang mungkin saja sebenarnya tak punya mata dan telinga, sehingga tak terlihat ada aku di dekat mereka, tak terdengar suaraku melengking di udara.

Kini hanya ada aku yang sedang melayang semakin dalam, sendirian.

(19 desember 2009)

r u m a h


Aku membayangkan sebuah rumah

Rumah yang sederhana,
Rumah yang selalu akan terbuka pintunya, menantiku, merengkuhku
Rumah yang ruangannya siap menyambutku, menghangatkanku
Tempat aku bisa mengistirahatkan lelahku, meredakan penatku, mengisi kembali jiwaku, menenteramkan hatiku
Sejauh apapun kakiku melangkah, sepanjang apapun jalan kutapaki, kemanapun aku sempat singgah, aku tetap akan pulang,..
 pulang ke rumah

Rumah yang akan selalu kurindukan begitu aku meninggalkannya, dan rumah itupun merindukan aku, aku yang jadi penghuninya, aku yang mengisi seluruh ruangannya dengan hela nafasku, dengan langkah kakiku, dengan aroma tubuhku

Rumah yang setiap sudutnya akan kupenuhi dengan cerita
Cerita tentang hidup di luar sana, yang ternyata berwarna
Kadang ada kejutan menyenangkan dan kadang dihiasi tetes air mata

Rumah yang halamannya ditumbuhi pepohonan
Menyejukkan di kala panas menyengat, menaungi dari terpaan hujan lebat
Rumah yang ditanami bunga warna warni, sejuk di mata, menenangkan hati
Rumah yang sederhana, tapi akan selalu jadi istimewa, dari saat aku pertama menghuninya, hingga suatu saat aku menutup mata, selamanya…

Aku membayangkan sebuah rumah,
tempat aku pulang,
tempat aku selalu kembali…

(6 november 2009)

p e r t a n d a


Di bening pagi, ketika matahari mulai terlihat cahayanya, samar-samar..dan rembulan masih menampakkan sisa sinar indahnya sekilas di langit, ada nuansa
berbeda di angkasa,..aku lahir ke dunia, begitu kata ibunda.

Menangiskah aku? tanyaku pada ibunda, tangismu keras nak, begitu jawabnya..
Ah, pasti tangisku waktu itu seperti sebuah pengumuman, sebuah lonceng, sebuah pertanda bahwa ada makhluk mungil yang akan menambah sesak dunia
dan ikut menghabiskan oksigen di udara

Dan waktu pun berlalu...tak terasa, namun ada
Begitu banyak peristiwa silih berganti, yang ingin dikenang malah hilang, yang ingin dilupakan selalu terbayang-bayang,..
Masih suka menangiskah aku? pertanyaan itu tak lagi untuk ibunda, tapi untukku, yang telah melalui peristiwa-peristiwa itu, ya...aku selalu menangis, tapi tak lagi keras..
Tangisku dalam diam, dalam sunyi...tak pantas jadi pengumuman, tak mungkin jadi lonceng, tapi tetap, menjadi sebuah pertanda..entah sedih, entah bahagia, atau tangis yang mati rasa..

Di bening pagi, ketika matahari mulai terlihat cahayanya, samar-samar..dan rembulan masih menampakkan sisa sinar indahnya sekilas di langit, ada warna berbeda di angkasa,..aku telah terlahir sekian waktu, telah menikmati oksigen bahkan zat beracun lainnya di udara yang sudah menghitam warnanya

Dan aku tetap membuat pertanda, dengan menangis dalam diam, dalam sunyi...sendiri...

(2 oktober 200)

ketika alasan dipertanyakan


Selalu begitu, setiap waktu
Ketika setiap peristiwa terbuka di depan mata
Terhampar, terpapar, terbentang…
Ketika setiap kejadian mengusik pikiran
Masuk, merasuk, menusuk…

Selalu dipertanyakan,
Mengapa aku ?
Mengapa sekarang ?
Apa maksudnya ?
Apa dibalik ini semua ?

Adakah jawaban semua itu ?

Kemudian di satu titik, ketika jiwa bijak tiba-tiba menghampiri, walau sejenak,..aku bisa berkata dengan lantang : ini ujian, menuju sesuatu yang lebih baik, yang aku tidak tahu, tapi pasti ada hal baru di depan sana, jika aku mampu melaluinya..
Lalu esoknya, jiwa itu pergi entah kemana, yang tertinggal hanya seonggok hati sendu dan segumpal rasa tak tentu, dan aku berkata dengan pilu : ah,..lelah rasanya, mau kemana peristiwa ini bermuara, harus bagaimana menjalaninya agar aku menemukan jawabannya…

Bukankah setiap kejadian pasti ada alasan ?
Bukankan suatu peristiwa adalah akibat dari peristiwa sebelumnya ?
Bukankah semua cerita kita telah digariskan Sang Pencipta?

Menjalani dengan segenap keyakinan, itu pasti
Melalui dengan penuh kesabaran, itu seharusnya
Mempertanyakan, alasan dari semuanya ? Tak salah kurasa
Karena aku, cuma manusia biasa, dengan segala keterbatasannya....

(6 september 2009)

tidak ada judul



Aku ingin pulang,
Pulang pada apa yang pernah aku miliki
Pulang pada apa yang dulu aku yakini
Pulang pada sesuatu yang dulu aku cintai

Aku ingin kembali,
Kembali memiliki mimpi
Kembali menyusun angan-angan yang tinggi
Kembali menjadi aku, aku yang hanya milikku

Kemudian,
penat terasa, amarah datang meraja
lelah merasuk jiwa, hampa yang terasa
lalu tercipta khayal,..andai saja dulu bukan ini yang untuk aku

Aku cuma ingin pulang, ingin kembali
Agar diriku hanya jadi milikku

(8 agustus 2009)

Akhirnya....

Akhirnya punya blog juga, walaupun masih sangat sederhana dan apa adanya, mungkin malah ditertawakan karena kok baru sekarang punya, sementara di luar sana banyak blog sudah bisa melahirkan buku, bahkan buku-buku, bisa juga mengalirkan uang di saku.

Akhirnya punya blog juga, tempat aku bisa menulis sekenyang-kenyangnya, aku punya tempat bermain, yang bisa memicu adrenalin tanpa perlu membahayakan nyawa (tapi sepertinya bisa membahayakan jiwa, haha).

Akhirnya, aku harus mengawalinya.