Senin, 11 Februari 2013

Cinta Senja (4)



Laki-laki itu duduk diam di meja yang terletak di sudut ruangan sebuah kedai kopi. Kedai sederhana namun nyaman dan menenangkan. Ada jendela kaca pada sisi kirinya. Sore ini jendela itu tampak menangis dengan titik-titik sisa air hujan pada kacanya. Laki-laki itu berharap ada sedikit saja sisa sinar sang surya, berharap pelangi hadir mewarnai langit. Langit yang sedari tadi dia pandangi hanya berwarna abu-abu. Ada rak-rak buku berjajar di seberang mejanya. Buku-buku lama dan terbitan terbaru - yang disusun berdasarkan jenis buku, tampak berbaris rapi, menanti untuk dipilih oleh pengunjung kedai yang ingin menikmati kopi sambil mengisi jiwa dengan membaca.
Laki-laki itu ingat pada perempuan yang mengisi hatinya. Perempuan itu suka sekali minum kopi disini. Bukan hanya karena kopinya yang nikmat dan suasana kedai yang menenangkan dengan alunan musik lembut memenuhi ruangan, tapi juga karena hadirnya buku-buku disana. Suatu saat aku ingin bukuku ada di rak itu, lalu kamu membacanya ketika aku tak lagi ada, begitu katanya suatu ketika. Laki-laki itu memang pernah meminta perempuan itu untuk menuliskan kisah mereka. Dan perempuan itu hanya tertawa lirih kala itu, merasa tak akan mampu bercerita tentang cinta yang tak ada ujungnya.
Sudah satu gelas coklat panas dipesannya. Dia pesankan juga satu cangkir kopi untuk perempuan yang telah berjanji akan menemaninya menanti turunnya senja hari ini. Walau senja kali ini mungkin tak akan jingga warnanya-karena langit telah berair mata sedemikian banyaknya, dan menyisakan tetes-tetes air pada kaca jendela disisinya.
Laki-laki itu selalu menatap pintu kedai bila terdengar bunyi gemerincing lonceng-lonceng kecil yang dipasang di pintu dan akan berbunyi bila pintu terbuka. Tak juga muncul perempuan yang ditunggunya. Setiap pintu terbuka, setiap lonceng-lonceng kecil saling beradu, maka degup jantungnya pun ikut nyaring bersuara, berharap belahan jiwanya akan menampakkan dirinya.
Dan waktu pun bergulir dalam diam. Sudah hampir habis coklat panasnya, sudah dingin kopi yang dipesannya. Sudah beberapa buku dia ambil dari rak dan dibaca sekedarnya, hanya untuk teman sementara dalam kesendiriannya.
Kegelisahaan perlahan merambati hatinya, pelan-pelan memaksanya berprasangka. Mungkinkah perempuan yang dinantinya tak akan tiba hingga senja datang menyapa. Pelayan kedai telah bertanya padanya, apakah dia akan menambah minuman lain atau sekedar penganan kecil. Tampaknya kegiatannya menatap jendela, membolak balik halaman buku-buku dan mengamati pintu cukup menarik perhatian sang pelayan. Hingga tergerak untuk menawarkan ‘kegiatan’ lain, membaca buku menu dan memesan sesuatu.
Senja akhirnya tiba juga, senja yang tak jingga warnanya.
Laki-laki itu tampak kecewa tak bisa menikmati senja bersama perempuan yang telah berjanji akan menemaninya. Dari kaca jendela disisinya, terlihat lampu-lampu jalanan yang mulai bercahaya, tercipta suasana yang temaram.
Dimanakah kamu? Lupakah kamu pada janjimu, ataukah kamu memang sengaja membiarkan aku menunggu untuk menguji kesungguhanku? Semoga saja kamu sedang sibuk menulis buku. Buku tentang cinta yang tak ada ujungnya-demikian menurutmu, yang akan ikut dalam barisan buku di rak berwarna coklat tua yang ada di kedai kopi kesukaanmu.
 Kamu seharusnya tahu, bahwa menunggumu adalah sesuatu yang tak perlu kamu minta dariku.
Senja sudah selewat lalu. Laki-laki itu beranjak pergi, membayar coklat panas yang telah tandas dan secangkir kopi yang tak lagi panas. Mengembalikan buku-buku yang hanya dibacanya sambil lalu. Sejenak ditatapnya meja tempat duduknya, seakan mengucapkan salam pada kekosongan.
Gemerincing lonceng pintu, laki-laki itu pun pergi meninggalkan kedai kopi.