Selasa, 08 November 2011

Cinta Senja (3)

Cahaya senja memantul indah pada permukaannya. Permukaan air laut yang tenang, diselingi ombak yang menyisakan deburan di akhir perjalanannya.
Angin terasa meniupkan hawa yang syahdu. Alam bersiap melakukan ritual melepas sang matahari menuju tempat peristirahatan. Padahal sesungguhnya bukan melepas sumber cahaya utama untuk menepi di sisi barat, tapi bumi yang berputar, mengisahkan perbedaan waktu, menjadi gelap atas kemauannya sendiri, karena sang sumber cahaya tak akan kemana-mana, dia disana dengan sinar sempurna untuk semesta. Tanpa kata-kata, tanpa rayuan indah agar dipercaya, sang surya selalu menepati janjinya, tak akan pernah meredupkan cahaya, kecuali Sang Pencipta menghendakinya.

Perempuan itu ada disana, berdiri di tepi pantai, menghadap laut. Menikmati nyanyian angin, menghirup udara beraroma air laut, buih ombak, dan merasakan butiran-butiran pasir menyelinap di antara jemari kaki telanjangnya.
Seperti laut yang hanya bisa menatap langit, berharap ada cara agar bisa saling bersentuhan, tapi semua rasa hanya terurai lewat tatapan. Begitulah aku kini, merasakan jarak bak laut dan langit denganmu. Kamu bagai langit itu, begitu luasnya dirimu, tapi tak bisa aku menyentuhmu, begitu anggun sekaligus angkuh.
Seperti  matahari yang mempengaruhi warna laut dengan pancaran cahayanya. Begitulah aku kini. Kamu bagai matahari yang terang benderang dan aku bagai lautan yang dalam. Gelombang warna dari pancaran cahayamu mempengaruhiku, aku serap, aku bagikan lagi warnanya. Kamu menambah semua yang ada dalam diriku hingga bereaksi dan menghasilkan warna baru. Aku lautan yang tampaknya biru, dan kamu matahari yang membagikan cahaya.

Perempuan itu lelah berdiri dan menatapi matahari yang tampak mundur perlahan meninggalkannya dalam tatap mata.
Duduk ia kini di atas pasir, setelah sedikit berjalan menjauh beberapa langkah dari tepi pantai. Duduk memeluk kakinya yang ditekuk sebatas dada, hampir bertemu dagu dan lututnya. Wajahnya masih menghadap laut yang disirami sisa cahaya surya, rambut yang dibiarkannya tergerai menari-nari bersama nyanyian angin.
Ingin aku memelukmu, bukan memeluk kakiku. Tapi bagaimana caranya, bila ragaku disini dan ragamu aku tak tahu dimana. Rinduku begitu biru seperti lautan yang dalam, rinduku begitu syahdu bagai nyanyian alam ketika senja datang, rinduku padamu terasa menyesakkan dada, hingga air mata mewakili segala rasanya.
Perempuan itu merapatkan kaki pada badannya, udara dingin mulai terasa, baju hangat panjang dan syal dilehernya tak cukup bisa menahan terpaan udara. Sementara sebagian celana panjangnya sudah basah terkena air laut ketika ia tadi berdiri di tepi pantai.
Dingin. Seperti rasaku. Aku yang mencintai laki-laki  yang mencintaiku, aku yang merindukan laki-laki yang merindukanku, aku yang menginginkan laki-laki yang menginginkan aku, aku yang tak bisa apa-apa dengan ini semua. Aku yang akhirnya menjadi dingin. Bukan cinta yang tiada, karena cinta itu tak kuijinkan beranjak walau sejenak. Bukan rindu yang kehilangan tempat, karena rindu itu aku berikan ruang luas tanpa batas. Bukan harapan yang terhenti, karena perjalanannya seluas jagat raya. Dingin, itu saja.
Senja telah bertambah usia, kini gelap menyelimuti angkasa. Perempuan  itu berdiri. Sekali lagi menatap laut lepas, telinganya mendengarkan lagi suara ombak terhempas. Ia pejamkan mata, nafas tertata, dan sapaan angin menerpa wajahnya, dingin memeluk tubuhnya. Lalu ia buka matanya, senyum mengembang diwajahnya, “aku merindukanmu dalam setiap hela nafasku, dan aku mencintaimu hingga helaan nafasku terhenti suatu saat nanti” bisiknya pada udara, semoga getarnya sampai pada suatu tempat, pada sebuah hati yang dimiliki seorang laki-laki yang berkenan menyimpan hatinya. Itu saja harapnya.