Rabu, 14 September 2011

Cinta Senja (2)

Mencintai. Kata-kata itu sederhana. Tapi membuat laki-laki itu kembali menatap mata perempuan yang duduk didepannya.
“Bukankah sudah pernah aku katakan kepadamu?” laki-laki itu bicara, sambil menyentuh jari jemari si perempuan yang sedari tadi sibuk mengusap-usap pinggiran cangkir kopinya.
Ada degup menyenangkan di dada perempuan itu. Aku suka ketika kamu menyentuhku, menatapku, tak bisakah aku mendapatkannya sesering aku mau?
“Kamu merasakannya?”, laki-laki itu bertanya lagi.
Aku merasakan semuanya setiap kali bersamamu. Semua cintaku, bahagiaku, sedihku, kamu begitu terasa, kamu begitu ‘semua’.
“Aku mau kamu percaya padaku, dan yakin pada hatimu”, laki-laki itu kini menggenggam jemari si perempuan.
“Aku percaya”, akhirnya terbuka juga mulutnya, setelah kata-kata hanya terayun-ayun di kepalanya.
Laki-laki itu melepaskan genggamannya, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Menghela nafas, menatap mata perempuan itu, lalu mengalihkan pandangan keluar jendela. Senja telah lewat, saatnya malam mengisi urutan waktu.

Datang,
Terkenang,
Terbayang,

Yang terlewatkan
akhirnya terkatakan,
Yang tersimpan rapi
kini menjadi-jadi,

Hari-hari terlalui
Penuh rindu yang terasa nyeri
Ada bahagia memenuhi jiwa
Kadang terasa tak nyata

Rasa ini terlalu indah
Walau tanpa pertemuan yang megah
Hanya dari sebuah cerita
Entah kenangan,…entah cinta…

Akan sampai dimana kisah ini, perempuan itu tak pernah tahu, dan mungkin tidak akan pernah mau tahu. Tapi bila ada yang bertanya padanya, sampai kapan akan terus melanjutkan kisah ini, mungkin dia akan menjawab, sampai nafasku terhenti. Mungkin hanya dia dan Tuhan yang tahu, seberapa besar siksaan anugrah ini begitu membebani batinnya. Bukan aku yang menciptakan rasa ini, bukan pula salahku bila kemudian semesta seolah-olah berkolaborasi mempertemukan kami. Bukan keinginanku jika ada hati yang begitu haus akan diriku, begitu tersiksa rasa dahaga akan berita berpuluh tahun lamanya, mungkin kesalahanku hanya satu, aku membiarkan diriku hanyut dalam lautan hasrat, dimana ada pusaran dan pertemuan arus, dan aku tak ingin menepi, aku membiarkan tubuhku direnggut dan dipagut gelombang, aku tak ingin menepi, untuk saat ini.

Ini bukan kisah. Bukan kisah atau dongeng atau cerita yang diawali dengan pada jaman dahulu kala.. dan ditutup dengan …maka mereka pun hidup bahagia selamanya. Ini perjalanan. Tak paham awalnya, tak pernah tahu akhirnya. Dijalani saja, semua rasa yang ada, yang menyiksa, yang bahagia. Semua rasa rindu dan candu untuk bertemu.  Aku hanya ingin membiarkan ini terjadi, mengalir, jiwaku akan berjalan bersama jiwanya, akan menjadi sulitkah itu? Laki-laki itu pun menjawabnya sendiri, aku tak perlu tahu, untuk saat ini.