Jumat, 24 Juni 2011

Cinta Senja (1)

Di sebuah bukit, senja turun perlahan.
Laki-laki itu masih memandangi batas cakrawala yang mulai memerah.  Angin mengusap wajahnya yang tampak lelah, tapi sarat asa pada tatap matanya. Sambil duduk bersila di atas rerumputan hijau yang mulai terasa dingin oleh udara, dia memperhatikan perempuan yang duduk disampingnya.
“Kamu tahu, aku sudah lama membayangkan ini, duduk diatas bukit, menikmati senja bersamamu”, laki-laki itu berkata.
Perempuan itu tersenyum, sambil merapikan rambut panjangnya yang beterbangan dimainkan angin.
“Aku suka senja, warna dan suasana senja, indah”.
“Mengapa kamu pergi dariku ?”, tanya laki-laki itu.
Perempuan itu menoleh, mereka berpandangan. Perempuan itu tersenyum, “Aku tidak pernah meninggalkanmu, aku akan selalu ada”.
“Kamu begitu sulit kuhadapi”.
“Aku dan kamu, kita menjadi ada, itu yang sulit dihadapi”, perempuan itu menatap lurus ke depan, seolah berkata pada batas senja.
Lalu mereka terdiam, saatnya bagi keheningan untuk hadir.           

Laki-laki.
Aku tidak pernah menyangka bahwa waktu akan mempertemukanku dengan seseorang dari masa lalu. Sebuah masa yang sudah terlalu lama untuk dikenang, bahkan sebenarnya sudah terlupakan, tapi tetap tercatat.
Bahkan dalam doa-doa penuh rahasia pun, tak pernah aku menyebutkan namanya. Tapi Tuhan selalu tahu isi hati manusia. Dengan segala kuasa-Nya apa saja bisa saja tercipta, segala situasi bisa saja terjadi.
Pertama kali yang aku sadari ketika bertemu dengannya adalah : betapa aku masih mencintainya. Awalnya aku mengira ini semua akan biasa saja, seperti nostalgia, roman picisan. Tapi ternyata bukan. Aku sendiri tak tahu bagaimana menggambarkan rasa hatiku, yang aku tahu, aku mencintainya, itu saja.

Perempuan.
Sungguhkah itu dia? Sudah berpuluh tahun tak bersua, benarkah dia masih ingat padaku? Bahkan kisah indah pun tak pernah terjalin, walau aku begitu memujanya, dulu. Aku begitu meragu, tak mungkin dia ingat padaku. Tapi dia membuktikannya dengan menceritakan detil penampakanku di masa lalu.
Ya Tuhan, dia memperhatikan aku pada suatu masa. Lalu mengapa tak tertulis di buku takdirku, di buku takdirnya, bahwa kami saling bertemu dan bersatu? ingin sekali memprotes skenario Sang Sutradara alam raya.
Setelah sekian lama putaran waktu membawaku merajut cerita-cerita hidupku, dia hadir disana, menyapa dan menyanyikan lagu cinta. Andai aku bisa, ingin aku berteriak pada dunia : aku selalu jatuh cinta padanya. Tapi aku simpan teriakanku. Aku memilih berbisik pada angin.
Menangis aku sudah, diam aku lelah, tapi menikmati sebuah cinta yang hadir tidak pada waktunya, terasa salah. Jadi harus bagaimana lagi aku kini?

Di sebuah tempat makan dan minum, pada suatu senja.
Perempuan itu memainkan cangkir kopinya, dan memperhatikan uap panas yang mengepul, mengudara. Seandainya saja muncul Aladin disana, tokoh jin yang bisa mengabulkan permintaan tuannya, ingin sekali dia mengucapkan permohonan. Wahai tuan putri, apa gerangan yang engkau inginkan, hamba akan mengabulkan keinginan tuan. Lalu aku akan menjawab : beri aku mesin waktu, agar aku bisa menulis kembali ceritaku, mengubah takdirku, dan menemui cinta yang sesungguhnya.
“Hai, kamu melamun lagi”, suara itu membuyarkan kisah tuan putri dan jin baik hati.
Perempuan itu hanya tersenyum. Lalu memandangi laki-laki itu.
“Kamu juga lebih banyak diam saat bersamaku.”
“Aku sedang menikmati waktu ini, saat ini. Bukan berarti aku tak nyaman bersamamu.”
Laki-laki itu menghirup coklat panasnya perlahan, menghangatkan tenggorokan dan mungkin juga menenangkan degup jantungnya, yang selalu iramanya tak menentu ketika bersama perempuan yang hadir dalam khayalnya, mimpinya.
“Jadi seperti apa kita?” perempuan itu memecah kesunyian, setelah sekian waktu hanya terdengar denting sendok dan garpu dari meja di dekat mereka, diiringi suara musik yang mengalun lembut.
“Mengapa kamu senang sekali dengan topik itu? Tidak bisakah kita menikmati saja saat ini?”
“Apa kamu tidak merasa ada yang perlu diluruskan dengan cerita kita?”
“Apalagi yang kamu ragukan? Aku tahu, kamu hanya tidak yakin dengan kenyataan bahwa aku mencintaimu,” laki-laki itu berkata sambil mencoba menyelami isi hati si perempuan dengan menatap matanya. Mata yang dulu pernah begitu membuat dada seorang lelaki kecil berdentum kencang.
“Iya, kamu begitu tidak mungkin untukku,” perempuan itu menatap si laki-laki, terlihat bening, berair tipis.
“Harus bagaimana lagi aku?”
Perempuan itu diam. Aku mau kamu bisa selalu ada disisiku, aku mau kamu bisa aku peluk jika aku rindu padamu, aku mau kamu ada ketika aku butuh teman bicara, aku mau kamu tahu semua isi kepalaku, agar kamu tak perlu bertanya “harus bagaimana aku?”
“Hai, jawab pertanyaanku, kamu mau aku bagaimana?, suara laki-laki itu menghapus kata-kata yang bicara dalam diamnya si perempuan.
“Aku mau kamu selalu mencintaiku”, hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dan dari semua yang diinginkannya, memang hanya itu saja yang rasanya bisa dilakukan. Mencintai, titik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar/ulasan :